Jegog, Kesenian Khas Jembrana - Bali
Seni JEGOG merupakan kesenian khas dari Kabupaten Jembrana (Bali). Jegog merupakan suatu seni gamelan (instrumental) yang terbuat dari bambu dan terdiri dari banyak jenis instrument. Jegog saat ini telah dipakai sebagai pengiring suatu tarian. Bahkan kesenian Jegog sudah cukup dikenal dikalangan Wisatawan Jepang. Sebuah Sekolah Menengah Pertama di Jembrana, yaitu SMP N 4 Mendoyo secara rutin mengirimkan siswa-siswinya sebagai penabuh dan penari yang di undang oleh Jepang untuk mengisi suatu even di sana. Selain untuk mengiringi tari-tarian, jegog biasanya dipakai untuk musik penyambutan tamu pada saat ada acara-acara resmi, seperti: pada pembukaan olahraga, peresmian suatu tempat, suatu upacara yadnya dan lain sebagainya. suara khas musik jegog yang menggelegar dan mengalunkan irama yang riang, irama jegog dapat membangkitkan semangat setiap para penikmatnya
Sejarah Jegog
Kata “Jegog” diambil dari instrumen Kesenian Gong Kebyar yang paling besar. Secara aklamasi masyarakat Jembrana khususnya di kalangan seniman menunjuk bahwa yang menciptakan gamelan ini adalah I Wayan Geliguh atau Kiyang Geliduh (1872) pada tahun 1912. Ia adalah seorang seniman yang berasal dari Banjar Sebual, Desa Dangin Tukad Aya, Kecamatan Negara, Jembrana.
Temuan Kiang Geliduh itu kemudian dilanjutkan oleh Pan Natil di Desa Delodbrawah pada 1920. Pan Natil kelak dikenal dengan panggilan Kiang Jegog, akibat kesuntukannya mengalirkan jegog ke generasi berikutnya, hingga meluas ke sejumlah desa di kawasan Jembrana.
Satu dasawarsa berselang sejak generasi Kiang Jegog, musik berbahan baku bambu itu telah menyebar ke Desa Poh Santen dan Mendoyo Kangin. Pada dasawarsa 1940-an muncul di Desa Tegal Cangkring. “Jegog memang menjadi musik khas Jembrana yang dipetik dari hamparan huma dan hutan,” katanya.
Seniman jegog lainnya, I Wayan Wangsun, menjelaskan, gamelan jegog memang tidak sepopuler gong kebyar (gamelan Bali modern). Pada umumnya masyarakat dan seniman Bali belum begitu akrab dengan ensambel dari bambu itu. Memang, dari sekian khasanah gamelan Bali, perangkat alat musik bambu itu tak begitu banyak dicatat dan dicermati, baik oleh peneliti lokal maupun asing. Tetapi, di desa-desa belahan barat Bali, kebyar justru kalah gengsi dengan jegog. Gamelan yang instrumennya berbahan batangan-batangan bambu besar itu begitu digandrungi masyarakat setempat.
Manakala petani huma Kiang Geliduh menghalau burung-burung yang menghinggapi bulir-bulir buah padinya yang mulai menguning, demikian ceritanya, ia membunyikan penghalau burung. Alat penghalau burung itu dibuat dari bambu, yang memang sudah di dapat saat itu.
Ketika suntuk menghalau burung, petani-petani lain di lingkungan Subak Sebual yang melingkupi huma Kiang Geliduh, pun menyambut serta. Mereka seperti terpaut, ikut menyahut dengan alat penghalau burung dari bambu pula. Rata-rata kubu (pondok) para petani di huma saat itu berisi kulkul bambu. Tanpa aba-aba layaknya dalam kemiliteran, jadilah alat penghalau burung itu satu orkestra musik nan apik. “Interkoneksi, saling menyahut, mengalir begitu saja dalam irama rasa terukur,” ia menambahkan.
Di tengah keasyikan melamun itulah, tutur Wangsun, mekanisme kreativitas seni Kiang Geliduh terpantik. Rasa hatinya tergetar. Jiwa murninya menari-nari mengikuti irama suara bambu. Saat rembang petang menjelang. Kiang Geliduh mengumpulkan sesama petani huma sedesanya. Mereka mereka-reka sungguh-sungguh komposisi musik bambu itu. Diawali dengan barungan tingklik, perangkat musik bambu lebih kecil.
Barungan tingklik itulah kelak berbiak menjadi jegog, setelah disempurnakan, divariasikan dengan ruas-ruas bambu berbagai ukuran. Dari komposisi ruas-ruas bambu berbagai ukuran itu kemudian ditemukan barungan musik bambu lebih besar, utuh. Ingatan para petani seniman itu terpantik pada alat gamelan gong kebyar paling besar. Perangkat itu dinamakan jegog, karena tongkrongannya majegog, atau nylegodog besar. Dari sini nama jegog dikenal.
Sebagai produk budaya asli masyarakat Jembrana, gamelan ini memiliki fungsi yang sangat beragam. Awalnya Kesenian Jegog hanyalah berupa tabuh (barung tabuh) yang fungsi awalnya sebagai hiburan para pekerja bergotong royong membuat atap rumah dari daun pohon rumbia/ijuk, dalam istilah bali bekerja bergotong royong membuat atap dari daun pohon rumbia disebut “nyucuk”, dalam kegiatan ini beberapa orang lagi menabuh gambelan jegog. Dalam perkembangan selanjutnya Gambelan Jegog juga dipakai sebagai pengiring upacara keagamaan, resepsi pernikahan, jamuan kenegaraan, dan kini sudah dilengkapi dengan drama tarian-tarian yang mengambil inspirasi alam dan budaya lokal seperti yang namanya Tabuh Trungtungan, Tabuh Goak Ngolol, Tabuh Macan Putih dengan tari-tariannya seperti Tari Makepung, Tari Cangak Lemodang, Tari Bambu, sebagai seni pertunjukan wisata. Kini, jegog juga telah dikolaborasikan dengan instrumen musik-musik modern seperti biola, keyboard, bas gitar, drum set, harpa, saxophone dan alat-alat musik non gamelan lainnya seperti djembe, tabla, dan sitar Jawa. Di Bali, kolaborasi ini dirintis oleh Nyoman Winda dan diberi nama JES (Jegog dan Semar pegulingan) Gamelan Fusion (JGF). Dan kolaborasi cantik ini telah ditampilkan di Arda Chandra Art Center 27 Juni 2010 lalu dalam ajang PKB ke 32.
Penampilan Gambelan Jegog begitu memikat, para penabuh menari-nari di atas gambelan, suara Jegog begitu gemuruh, rancak, riuh, bergaung dan sering menggelegar menembus ruang batas yang bisa didengar dari jarak jauh apalagi dibunyikan pada waktu malam hari suaranya bisa menjangkau jarak sampai 3 (tiga) Km.
Temuan Kiang Geliduh itu kemudian dilanjutkan oleh Pan Natil di Desa Delodbrawah pada 1920. Pan Natil kelak dikenal dengan panggilan Kiang Jegog, akibat kesuntukannya mengalirkan jegog ke generasi berikutnya, hingga meluas ke sejumlah desa di kawasan Jembrana.
Satu dasawarsa berselang sejak generasi Kiang Jegog, musik berbahan baku bambu itu telah menyebar ke Desa Poh Santen dan Mendoyo Kangin. Pada dasawarsa 1940-an muncul di Desa Tegal Cangkring. “Jegog memang menjadi musik khas Jembrana yang dipetik dari hamparan huma dan hutan,” katanya.
Seniman jegog lainnya, I Wayan Wangsun, menjelaskan, gamelan jegog memang tidak sepopuler gong kebyar (gamelan Bali modern). Pada umumnya masyarakat dan seniman Bali belum begitu akrab dengan ensambel dari bambu itu. Memang, dari sekian khasanah gamelan Bali, perangkat alat musik bambu itu tak begitu banyak dicatat dan dicermati, baik oleh peneliti lokal maupun asing. Tetapi, di desa-desa belahan barat Bali, kebyar justru kalah gengsi dengan jegog. Gamelan yang instrumennya berbahan batangan-batangan bambu besar itu begitu digandrungi masyarakat setempat.
Manakala petani huma Kiang Geliduh menghalau burung-burung yang menghinggapi bulir-bulir buah padinya yang mulai menguning, demikian ceritanya, ia membunyikan penghalau burung. Alat penghalau burung itu dibuat dari bambu, yang memang sudah di dapat saat itu.
Ketika suntuk menghalau burung, petani-petani lain di lingkungan Subak Sebual yang melingkupi huma Kiang Geliduh, pun menyambut serta. Mereka seperti terpaut, ikut menyahut dengan alat penghalau burung dari bambu pula. Rata-rata kubu (pondok) para petani di huma saat itu berisi kulkul bambu. Tanpa aba-aba layaknya dalam kemiliteran, jadilah alat penghalau burung itu satu orkestra musik nan apik. “Interkoneksi, saling menyahut, mengalir begitu saja dalam irama rasa terukur,” ia menambahkan.
Di tengah keasyikan melamun itulah, tutur Wangsun, mekanisme kreativitas seni Kiang Geliduh terpantik. Rasa hatinya tergetar. Jiwa murninya menari-nari mengikuti irama suara bambu. Saat rembang petang menjelang. Kiang Geliduh mengumpulkan sesama petani huma sedesanya. Mereka mereka-reka sungguh-sungguh komposisi musik bambu itu. Diawali dengan barungan tingklik, perangkat musik bambu lebih kecil.
Barungan tingklik itulah kelak berbiak menjadi jegog, setelah disempurnakan, divariasikan dengan ruas-ruas bambu berbagai ukuran. Dari komposisi ruas-ruas bambu berbagai ukuran itu kemudian ditemukan barungan musik bambu lebih besar, utuh. Ingatan para petani seniman itu terpantik pada alat gamelan gong kebyar paling besar. Perangkat itu dinamakan jegog, karena tongkrongannya majegog, atau nylegodog besar. Dari sini nama jegog dikenal.
Sebagai produk budaya asli masyarakat Jembrana, gamelan ini memiliki fungsi yang sangat beragam. Awalnya Kesenian Jegog hanyalah berupa tabuh (barung tabuh) yang fungsi awalnya sebagai hiburan para pekerja bergotong royong membuat atap rumah dari daun pohon rumbia/ijuk, dalam istilah bali bekerja bergotong royong membuat atap dari daun pohon rumbia disebut “nyucuk”, dalam kegiatan ini beberapa orang lagi menabuh gambelan jegog. Dalam perkembangan selanjutnya Gambelan Jegog juga dipakai sebagai pengiring upacara keagamaan, resepsi pernikahan, jamuan kenegaraan, dan kini sudah dilengkapi dengan drama tarian-tarian yang mengambil inspirasi alam dan budaya lokal seperti yang namanya Tabuh Trungtungan, Tabuh Goak Ngolol, Tabuh Macan Putih dengan tari-tariannya seperti Tari Makepung, Tari Cangak Lemodang, Tari Bambu, sebagai seni pertunjukan wisata. Kini, jegog juga telah dikolaborasikan dengan instrumen musik-musik modern seperti biola, keyboard, bas gitar, drum set, harpa, saxophone dan alat-alat musik non gamelan lainnya seperti djembe, tabla, dan sitar Jawa. Di Bali, kolaborasi ini dirintis oleh Nyoman Winda dan diberi nama JES (Jegog dan Semar pegulingan) Gamelan Fusion (JGF). Dan kolaborasi cantik ini telah ditampilkan di Arda Chandra Art Center 27 Juni 2010 lalu dalam ajang PKB ke 32.
Penampilan Gambelan Jegog begitu memikat, para penabuh menari-nari di atas gambelan, suara Jegog begitu gemuruh, rancak, riuh, bergaung dan sering menggelegar menembus ruang batas yang bisa didengar dari jarak jauh apalagi dibunyikan pada waktu malam hari suaranya bisa menjangkau jarak sampai 3 (tiga) Km.
Karakteristik Gamelan Jegog
Gamelan
ini adalah sebuah orkestra dari marimbas bambu, dengan tombol (tabung) mulai
dari kecil hingga raksasa.Tabung terbesarnya mencapai pajang 3 meter.
Nada
resonansi bassnya terdengar sampai 1 kilometer atau bahkan lebih jika di daerah
yang tenang/sepi di Bali. Banyak bentuk unik figurasi yang dikembangkan untuk
gamelan ini, tesktur melodi yang kompleks sekali dalam skala 4 nada aneh,yang
tidak digunakan di gamelan lain.
Musik dari
gamelan jegog ini energik dan kuat. Bagian dari energi ini berasal dari
kekuatan fisik yang dibutuhkan untuk memainkan instrumen berat. Gamelan jjegog
bernada terendah begitu besar sehingga dua pemain harus berjongkok di papan
atas tabung, mereka sering menggunakan kedua tangan untuk memegang palu karet
yang berat. Sumber energi lain tentu berasal dari tradisi populer, jegog
mabarung, pertempuran, persaingan antara dua kelompok.
Gamelan
jegog tidak hanya ditampilkan dalam kompetisi. Gamelan ini juga dimainkan dalam
pertunjukan yang termasuk tarian yang berasal dari pencat silat, bentuk seni
bela diri Indonesia populer di Bali Barat. Dalam konteks ini master melucu,
disebut dag, sering muncul. Para dag berjalan melalui pemain diantara (dan
selama) berperan, berkomentar, bercanda, dan mengejek sebagai aksi panggung.
Gamelan jegog juga menyertai ras kerbau tahunan, yang berlangsung di Negara,
ibukota Jembrana.
Sebuah
gamelan jegog penuh terdiri dari instrumen perkusi berikut, masing-masing
dengan delapan tabung bambu:
a)
Tiga Barangan, duduk di depan
memainkan melodi utama. Para Barangan tengah, yang memimpin ensemble
b)
Tiga kantilan dan, sebuah oktaf
lebih tinggi, tiga Suir, semua saling bermain.
c)
Dua undir dan, satu oktaf lebih
tinggi, dua celuluk, bermain bun (melodi). Pemain bergantian memainkan antara
tangan kanan dan kiri.
d)
Satu jegog, satu oktaf lebih
rendah dari undir, dengan dua pemain mengeksekusi bun juga bermain alunan nada.
Suling
(seruling bambu) sering membumbui bun. Pada pertunjukan, biasanya ketika
mengiringi tarian, ada juga alt music lain seperti, kendang (drum), rebana,
kajar, ceng-ceng (simbal) dan tawa-tawa (gong kecil).
Empat nada
gamelan jegog adalah hal yang unik di Bali. Meskipun skala ini secara kasar
dapat ditiru dengan memilih alunan nada tertentu dari tujuh nada pelog skala (#
2, 3, 5, dan 7)
Jegog Mebarung
Kesenian
Jegog ini bisa dipakai sebagai atraksi pertarungan Jegog.
Pertarungan Jegog dalam bahasa Bali disebut “Jegog Mebarung”, yaitu pementasan seni Jegog dengan tabuh mebarung (bertarung).
Pertarungan Jegog dalam bahasa Bali disebut “Jegog Mebarung”, yaitu pementasan seni Jegog dengan tabuh mebarung (bertarung).
Mebarung
artinya bertarung antara dua jegog atau bisa juga bertarung antara tiga Jegog,
dalam Bahasa Bali disebut Jegog Barung Dua atau Jegog Barung Tiga.
Jegog
mebarung ini biasanya dipertontonkan pada acara-acara syukuran yaitu pada acara
suka ria di Desa. Jegog mebarung terdiri dari :
a)
Dua perangkat gamelan jegog atau
tiga perangkat gamelan jegog ditaruh pada satu areal yang cukup untuk dua atau
tiga perangkat gamelan jegog.
b)
Masing-masing Kru Jegog ini
membawa penabuh 20 orang.
Pada saat
mebarung masing-masing Jegog mengawali dengan menampilkan tabuh yang namanya
Tabuh Terungtungan yaitu suatu tabuh sebagai ungkapan rasa terima kasih dan
hormat kepada para penonton dan penggemar seni jegog, dengan durasi waktu
masing-masing 10 menit.
Tabuh
Terungtungan ini adalah tabuh yang suaranya lembut dan kedengarannya sangat
merdu karena melantunkan lagu-lagu dengan irama yang sangat mempesona sebagai inspirasi
keindahan alam Bali.
Setelah
penampilan Tabuh Terungtungan baru dilanjutkan dengan atraksi jegog mebarung
yaitu masing-masing penabuh memukul gamelan jegog secara bersamaan antara Kru
jegog yang satu dengan kru jegog lawan mebarung.
Penabuh
memukul gamelan jegog (musik jegog) dengan sangat keras sehingga kedengarannya
musik jegog tersebut sangat riuh dan sangat gaduh dan kadang-kadang para
penonton sangat sulit membedakan suara lagu musik jegog yang satu dengan yang
lainnya.
Karena
saking kerasnya dipukul oleh penabuh, maka tidak jarang sampai gamelan jegognya
pecah dan suaranya pesek (serak).
Tepuk
tangan dari para penonton sangat rame begitu juga sepirit dari masing-masing
Kru jegog sangat riuh saling ejek dan saling soraki.
Apalagi
Gamelan Jegognya sampai pecah dipukul oleh penabuh, maka sepirit dari kru Jegog
lawannya menyoraki sangat riuh dan mengejek dengan melakukan tari-tarian sambil
berteriak-teriak yang bisa kadang-kadang menimbulkan emosi bagi sipenabuh
Jegog.
Penentuan
kalah dan menang Jegog mebarung ini adalah para penonton karena Jegog mebarung
ini tidak ada tim juri khusus jadi tergantung penilaian para penonton saat itu.
Apabila
suara salah satu gamelan jegog kedengarannya oleh sipenonton lebih dominan dan
teratur suara lagu-lagunya, maka jegog tersebut dinyatakan sebagai pemenang
mebarung.
Sedangkan
hadiahnya bagi sipemenang adalah berupa suatu kebanggaan saja bagi kru Jegog
tersebut.
Karena
Jegog mebarung adalah pertunjukan kesenian yang tujuannya untuk menghibur para
penonton dan para penggemarnya, pertunjukan jegog mebarung adalah pertunjukan
hiburan.
Kesenian
Jegog ini sudah melanglang buana karena sudah sering melawat ke Luar Negeri dan
telah menembus 3 Benua seperti Eropa, Afrika dan Asia.
Sedangkan
intensitas lawatan ke Jepang yang paling menonjol sejak tahun 1971 di kota
Saporo, Pulau Hokaido oleh Nyoman Jayus hingga tahun 2003 di Kota Okayama. Dan
yang terkini pada 26 Juli-8 Agustus 2010 ini grup Jegog Suar Agung pimpinan I
Ketut Suwentra,SST. yang beranggotakan 18 seniman musik dan tari kembali
mengemban misi kesenian di sejumlah kota besar Jepang.
Demikian
adanya Kesenian Jegog di Kabupaten Jembrana yang terus berkembang dan tidak
pernah surut oleh perkembangan jaman dan apabila ingin menikmati keindahan
kesenian musik Jegog bisa ditampilkan setiap saat di Kabupaten Jembrana.
Sumber :
Kaskus
(http://kevinabali.wordpress.com)
harus dilestarikan nih warisan budaya asli Indonesia :)
BalasHapussaya setuju chan.. semua kebudayaan Indonesia memang harus dilestarikan, supaya tidak di akui lagi oleh negara lain.. :)
BalasHapuswah, ane taunya cuman reog gan... hehehe :D
BalasHapusDi Indonesia emang bnyk bermacam-macam budaya gan, setuju bnget dengan komentar di atas, kita hrus melestarikan budaya Indonesia agar tidak punah...
-----> I Love Indonesia <------
@Fahmie, hehe Indonesia memang kaya dengan budaya.. tapi tetap bhineka tunggal ika...
BalasHapus