Cerpen - Sesal

oleh: emboeng arishinta poetra

 Di mana aku?
Sejak tadi tidak ada orang yang aku kenali, satupun tidak bisa aku ajak bersapa. Di mana sebenarnya aku? Apa yang telah tejadi dan siapa yang membawaku ke tempat ini? Aku bingung menentukan jalan, entah pada siapa harus aku tanyakan. Lorong ini begitu gelap, tidak ada cahaya hanya sebuah pintu yang paling dekat denganku yang bisa aku lihat. Tiba-tiba saja ada suara yang memanggilku dari balik pintu itu, “Rianti, kemarilah. Saya sudah menunggumu sejak lama.”
Aku membuka perlahan pintu itu, ku intipkan wajahku ke dalam. Ruangan itu sangat terang walau hanya terdapat satu lampu yang tergantung di plapon tepat di atas menja. Ada seorang ku lihat duduk membelakangi meja itu, dia menggenakan pakean seperti seorang hakim lengkap dengan palunya. Setelah aku dipersilakan duduk di depan sisi meja lainnya, ia berbalik dan memandangku. “Kaukah yang bernama Lastri Rianti?” kata orang itu dengan sangat berwibawa. Aku tertegan penuh takut dan begitu kaget hingga aku hanya menjawab pertanyaannya dengan menggangguk.
“Coba jelaskan mengapa engkau bisa ada di sini?” katanya lagi,
“Aku tidak tahu, aku melupakan semua yang pernah terjadi.” jawabku dengan lugu.
“Apa kau tahu ini di maman?”
“Tidak tuan”
“Seharusnya kau tahu, sejak tadi aku mengetahuimu sedang tidur di luar sana.”
“Aku sudah katakan, aku melupakan semuanya. Ini di mana?”
“Apa kau tidak ingat sama sekali?”
Aku memutar pikiranku, mencoba mengais sisa kenangan yang masih tersisa. Sedalam mungkin pikiran ku selami, sampai akhirnya aku mulai mengingat sesuatu. Aku mulai sadar, terakhir kali aku terjaga, aku masih berada di sebuah desa pedalaman yang aku datangi beberapa bulan yang lalu. Ya, aku yakin terakhir kal aku mengenakan seragamku dan bertemu dengan anak-anak di sekolah. tetapi kenapa aku bisa ada di sini? tempat apa ini? Aku semkain bingung, akutatap orang yang berada di hadapanku. Ia hanya terlihat tersenyum kepadaku, lantas aku menanyainan, “Di mana ini?”
Orang di hadapanku tiba-tiba berdiri dan mengambilkan sesuatu di sebuah rak dekat meja itu. Sambil berjalan aku terus menanyainya, “Di mana aku? tempat apa ini? siapa kau?” orang itupun kembali ke tempat duduk dan menjelaskannya kepadaku bahwa ia adalah hakim penentu surga dan neraka. Aku sangat kaget ketika menjelaskan bahwa namaku sudah tercatat di barisan paling akhir sebagai kandidat penghuni surga atau neraka. Tanpa aku tahu ternyata aku sudah mati, hari ini aku telah berada di pintu surga dan neraka. Aku akan di adili di sini atas apa yang pernah aku lakukan.
orang di hadapanku mengetukkan palu yang dibawanya sebagai dimulainya persidangan. Ia mulai bertanya, “Kenapa kau bisa mati?” wah ini pertanyan yang sangat sulit dijawab, karena hanya sedikit yang bisa aku ingat,
“Saya tidak tahu, tuan.” jawabku dengan takut.
“Apa yang kamu tahu, ceritakanlah!”,
“Baik tuan, saya akan mencoba menceritakan apapui yang bisa saya ingat.
Aku kembali mengais sisa-sisa ingatan yang masih tersimpan dalam otak, dan aku mulai menceritakannya kepada hakim yang dududk di hadapanku. Aku adalah mahasiswi yang baru saja menyelasikan kuliahku di sebuah universitas tinggi di daerah Bali. Aku menamatkan diri dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Setelah lulus, aku datang ke sebuah desa terpencil untuk menjadi guru di sana. Kata temanku, aku adalah wanita pemberani, karena berani mengambil resiko besar utnuk datang ke desa yang tidak terjamah bahkan oleh indahnya sinar matahari. Tetapi kenapa aku bisa mati, bahkan aku tidak percaya secepat ini aku pergi.
Aku menceritakan semuanya kepada hakim itu. Aku menangis, aku merindukan teman-temanku, aku menrindukan orang tuaku, dan aku menrindukan tanah kampung halamanku. Aku ingin pulang, tetapi sayangnya aku telah berada dalam persidangan ini. Entah apa yang membuatku mati, aku tidak tahu, karena aku merasa aku masih hidup. “Rianti, ini baru saja di mulai, mengapa kau menangis?” tanya hakim itu kepadaku. Aku tidak menghiraukannya, aku masih menangis tersedu. kembali ia bertanya, “Apa kau tahu apa yang menyebabkan kau mati?”
“Tidak!” jawabku singkat
“Apa kau ingin tahu?”
“Tentu!”
“kalau kau ingin tahu, tolong sudahi tangismu!”
Hakim di hadapanku kemudian menyalakan sebuah tab dan memulai sebuah rekaman vidio dan memberikan tab itu kepadaku. “Lihatlah dalam rekaman itu, kau akan tau penyebabmu ada di sini!” aku memerhatikan dengan seksama rekaman itu, tidak ku lewatkan sedetikpun. Dalam rekaman itu aku melihat beberapa aparat desa yang datang kr pondok kecilku, ada sekitar lima orang di depan rumahku. Ada seseorang yang mengetuk pintu hingga aku membukakannya pintu dan mengajak mereka masuk kedalam pondokku. Aaaahhh, aku mulai mengingatnya, kejadian ini sekitar tiga hari yang lalu.
Saat itu grimis menyelimuti sebuah pergantian senja. Aku sangat terkejut dengan kedatangan beberapa aparat desa ke tempatku. Aku menanyakan tujuan kedatangan mereka, tiba-tiba seorang dari mereka mendekapku dengan erat dua orang lainnya mengikat tanganku. Hujan di luar semakin terdengar deras di telinga menutupi suara teriakanku. Entah apa yang akan mereka lakukan padaku, tidak ada yang bisa aku perbuat karena aku sendiri, berteriakpun akan sangat sia-sia. jarak rumahku dengan rumah lainnya sangat berjauh-jauhan dan saat itu aku di kerjai sepuluh tangan yang menyekapku dalam ketakutan.
dalam video rekaman itu aku melihat tubuhku yang msih mulus dankencang dijilat oleh kelima aparat desa itu secara begantian. Aku mnggelinjang, aku mencoba melepaskan diri dari ikatan, namun sayangnya aku hanya perempuan yang lemah sedangkan yang ku hadapi adalah lima laki-laki hitam legam yang tenaganya sangat kuat. Aku pasrahkan diriku pada waktu, kelima laki-laki biadap itu kemudian merobek-robek pakaian yang aku kenakan. Aaahh, aku sangat malu melihat diriku sendiri dalam rekaman itu, kemudian kelima laki-laki itu menggilirku dengan rata. Mereka memang benar-benar keji, setelah mereka terpuaskan, mereka melepaskan ikatan di tanganku lalu meninggalkanku begitu saja.
“Bagaimana, kau sudah puas menonton adegan itu?” tanya hakim itu,
“Ya, aku baru ingat penyebab kematianku.”
“Bisa kau ceritakan padaku!”
“Baiklah”
Setelah kejadian pemerkosaan itu aku menjadi kalut, pada siapa harus ku adukan diriku. Aku tidak bisa menghubungi keluargaku, karena tidak ada jaringan selular di tempatku itu. Aku semakin bingung dan takut, aku ingin ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian itu, namun kantor polisi tidak tersedia di daerah itu. Sempat aku mengadu pada masyarakat terdekat, malah aku yang disalahkan karena di anggap melawan aparat. aku bingung, kalut, dan takut. Aku berlari ke sebuah bukit membawa handphoneku, aku mencari jaringan agar bisa menghubungi keluargaku atau kekasihku di kampung halaman.
Aku berusaha menelepon orangtuaku, namun tidak ada jawaban. Dalam kalut aku imencoba menghubungi kekasihku dan aku berhasil. Namun ada yang berbeda dari suara di balik maya sana. Suaranya berubah menjadi seperti perempuan, “halo ini siapa?” suara itu terdengar dari telepon. “Ini memang suara perempuan!” pikirku penuh gundah. Aku membunuh panggilan itu, aku semakin terhunus dari derita. Tiba-tiba Hpku berdering, ada sebuah pesan di terima di Hpku, pesan itu dari Hendrik, “Ti, akhirnya kau menghubungiku. dari beberapa minggu yang lalu aku mencoba menghubungimu, karena ada sesuatu yang harus aku jelaskan padamu. Begini, aku tidak bisa menunggu lebih lama, aku harus cepat menikah, karena semua sudah menuntutku untuk menikah. Bulan depan aku akan menikah dengan salah seorang sahabamu dulu. relakan aku Ti, semoga kau bisa meraih cita-citamu menjadi PNS dan segeralah menyusul.”
Aku berteriak melepaskan tangis, langkahku berat sekali untuk berjalan pulang. aku berhenti di ujung bukit itu, aku memandang senja yang aku suka yang ternyata tidak lebih indah dari senja seorang anak kecil yang baru saja bisa mandi sendiri. aku menyesal telah ada di sini.

Posting Lebih Baru Posting Lama

5 Responses to “Cerpen - Sesal”

  1. OK nih mas cerpennya

    BalasHapus
  2. kunjungan perdana...izin nyimak...follow sukses :) d tunggu kunjungan dan follow nya

    BalasHapus
  3. Kunjungan Perdana nih mas. Oh ya saya suka sekali karya sastra, apalagi membaca rangkaian kata yang artistik, seperti "mengais sisa-sisa ingatan". Mantab mas

    BalasHapus
  4. kreasi yang bagus kang, lanjutkan, sukses selalu.

    BalasHapus