Menelisik Sentimen Anti-Bali di Perantauan
Salah satu pemicu kerusuhan sosial adalah kecemburuan akibat keberhasilan etnis tertentu. Foto ilustrasi Oyos Saroso.
Kenapa orang Bali di perantauan jadi sasaran?
Dua kerusuhan yang menimpa orang Bali perantauan (migran) dalam kurun
waktu empat bulan tentu mengundang perhatian. Ada apa dengan warga
perantauan asal Bali?
Kejadian pertama pada akhir Oktober 2012
di Lampung Selatan. Empat belas orang meninggal akibat kerusuhan itu.
Rumah-rumah penduduk Bali yang bermukim di Desa Balinuraga dibakar,
termasuk rumah ibadah. Tidak terhitung kerugian material akibat
kerusuhan yang kabarnya disulut persoalan sangat sepele ini.
Hingga kini, tidak pernah ada kejelasan apa yang sesungguhnya menjadi
penyebab kerusuhan. Kita mungkin harus menunggu ada sebuah penelitian
mendalam dan serius mengapa terjadi konflik di daerah ini. Yang jelas,
kerusuhan ini diselesaikan dengan perdamaian. Namun, perdamaian ini
terasa sumir. Pihak penyerang maupun korban sepakat untuk tidak saling
menuntut. Selain itu mereka sepakat untuk ‘menjaga keamanan, ketertiban,
kerukunan, keharmonisan, kebersamaan, dan perdamaian antarsuku.’
Tentu kemarahan dan kepedihan tidak akan hilang begitu saja. Karenanya tidak ada jaminan konflik serupa tidak akan berulang.
Kerusuhan sama berulang. Kali ini meledak di Sumbawa Besar antara
penduduk lokal etnis Semawa dengan penduduk perantauan asal Bali.
Kabarnya, toko Dinasti, sebuah toko lumayan besar untuk ukuran daerah
setempat, dijarah. Hotel Tambora yang berdampingan dengan Toko Dinasti
juga dibakar. Beberapa suratkabar memberitakan rumah-rumah milik orang
Bali juga dibakar, toko-toko dijarah, dan rumah ibadah dirusak. Tidak
ada korban jiwa dalam kerusuhan ini.
Penyebabnya pun sepele. Ada dua orang menjalin cinta. Yang pria
adalah polisi dari Bali. Yang perempuan mahasiswi penduduk lokal.
Kebetulan mereka berboncengan dan kecelakaan. Keluarga perempuan curiga
bahwa telah terjadi pemerkosaan sebelumnya. Masyarakat pun panas. Mereka
mengadili dengan caranya sendiri.
Kerusuhan kali ini membangkitan ingatan akan kerusuhan di tahun 1980.
Penyebab kerusuhan ketika itu adalah perkelahian antara pemuda dari
etnik Semawa dengan pemuda Bali. Ada pula yang menyebutkan kerusuhan
bermula dari banyaknya kawin lari antara pemuda Bali dengan gadis etnik
Semara. Ada juga berita bahwa pemicunya adalah ditemukannya bungkusan
berisi daging babi di Mesjid. Tentu, mudah untuk mengaitkan daging babi
dengan orang Bali.
Tetapi penyelidikan mendalam yang dilakukan kemudian menyatakan bahwa
kerusuhan itu karena politik lokal — persaingan untuk menjadi bupati.
Dua kerusuhan yang menimpa orang Bali perantauan dalam kurun waktu
empat bulan tentu menimbulkan pertanyaan. Ada apa dengan orang Bali
perantauan? Mengapa orang Bali yang menjadi sasaran? Bukankah orang Bali
dikenal sebagai peratau yang tidak agresif, yang low-profile? Kenapa
mereka disasar?
Kalau pertanyaan ini diajukan kepada saya, terus terang, jawaban saya
adalah, “tidak tahu!” Akan tetapi pengalaman saya belajar dan meneliti
kekerasan komunal dan kekerasan atas nama agama selama ini mungkin bisa
dipakai untuk (paling tidak) membikin dugaan tentang apa yang terjadi.
Pangkalnya
Mari kita mulai dengan diktum: semua kekerasan komunal itu akarnya adalah politik. Itu hal pertama dan terpenting yang saya pelajari. Kekerasan komunal (termasuk di dalamnya kekerasan atas nama agama) sangat terkait dengan politik baik lokal maupun nasional. Umumnya ini adalah hasil pertarungan kekuasaan di kalangan para elit politik.
Di atas, kita sudah melihat bahwa kerusuhan yang menimpa masyarakat
Bali perantauan di Sumbawa tahun 1980an adalah akibat dari pertarungan
kekuasaan untuk menjadi bupati. Kerusuhan itu terjadi bahkan pada saat
puncak kekuasaan Orde Baru di mana sentralisasi begitu ketat. Saat itu,
unjuk rasa dan segala macam protes juga dilarang.
Tidak terlalu sulit untuk mengambil kesimpulan bahwa politik di
Lampung Selatan saat ini juga penuh dengan masalah. Daerah ini
mengadakan Pilkada pada Juni 2010 yang dimenangkan pemuda Rycko Menoza.
Ayah sang bupati baru ini adalah Komisaris Jendral Pol. (Pur.)
Sjachroedin ZP. Dan orang ini pada saat yang sama menjabat sebagai
Gubernur Lampung.
Sementara Sjachroedin ZP sendiri adalah anak dari mantan orang kuat
Lampung pada zaman Orde Baru yakni Zainal Abidin Pagaralam yang adalah
Gubernur Lampung periode 1966-1973. Jadi Rycko sesungguhnya adalah cucu
dari Zainal Abidin Pagaralam. Saudara Rycko lainnya, Handitya Narapati
SZP, saat ini menjabat sebagai Wakil Bupati Kab. Pringsewu, juga di
Provinsi Lampung. Dinasti Zainal Abidin Pagaralam menguasai perpolitikan
di Lampung selama beberapa tahun terakhir ini.
Sebagai bupati Rycko Menoza dikenal kontroversial. Salah satu
kebijakan bupati yang juga pernah menjadi aktivis Pemuda Pancasila dan
KNPI ini adalah membangun patung kakeknya. Pembangunan patung senilai Rp
1,5 milyar ini memicu kemarahan massa-rakyat karena dana pembangunannya
diambil dari APBD. Akhirnya, setelah tiga bulan berdiri, pada 30 April
2012, patung itu dirobohkan massa.
Patung itu diruntuhkan persis seperti penduduk Baghdad meruntuhkan
patung Saddam Hussein setelah kota itu jatuh ke tangan pasukan
pendudukan Amerika. Warga mengikatkan tali baja di leher patung dan
menariknya dengan tali baja.
Tidak itu saja. Lampung Selatan masih dilanda kerusuhan pada
bulan-bulan selanjutnya. Pada 2 Juli 2012, massa kembali mendemo Bupati
yang dinilai melontarkan ucapan-ucapan menghina tokoh-tokoh adat. Massa
melakukan demonstrasi di lapangan Raden Intan Kalianda. Massa
diorganisir Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) cabang
Lampung Selatan dan Forum Lampung Selatan (Forlas) Bersatu bersama lima
tokoh adat dari lima marga di Lampung Selatan.
Mereka berhasil memaksa Bupati untuk meminta maaf kepada tokoh-tokoh
adat. Namun setelah itu, Bupati mendapat caci-maki, lemparan batu dan
botol. Massa kemudian memblokade jalur jalan Trans-Sumatra dan membakar
gedung-gedung pemerintahan.
Situasi sosial dan politik yang panas inilah yang menjadi latar
belakang konflik sosial pada bulan November yang melibatkan penduduk
lokal dan penduduk Bali perantauan.
Kita belum tahu apa yang melatari kerusuhan terakhir di Sumbawa ini.
Akan tetapi kita tahu bahwa politik di Sumbawa juga cukup panas. Banyak
isu panas silih berganti bergejolak di pulau ini. Misalnya isu penolakan
tambang PT Newmont, kasus-kasus tanah, hingga ke demo-demo mahasiswa.
Pada 24 Desember 2011, dalam demonstrasi dan blokade terhadap pelabuhan
Sape di Kabupaten Bima, dua orang meninggal dan 20 lainnya luka-luka.
Ada pula rencana untuk menuntut agar pulau Sumbawa menjadi provinsi
tersendiri. Mereka ingin lepas dari NTB yang diangap didominasi
orang-orang Sasak. Gejolak demi gejolak seperti ini selalu menjadi
prolog (pendahuluan) kekerasan komunal. Ibaratnya letusan gunung berapi
selalu didahului oleh gempa-gempa pendahuluan.
Namun, sesungguhnya sulit mencari hubungan langsung antara gejolak
politik lokal dengan kerusuhan sosial. Seringkali analisis model seperti
ini jatuh ke dalam teori konspirasi. Kita hanya bisa melihat
tanda-tandanya. Kita juga bisa tahu dengan mudah siapa kira-kira yang
diuntungkan dan dirugikan oleh kerusuhan-kerusuhan ini.
Sasaran
Setiap kekerasan komunal pasti memiliki korban. Korban paling besar selalu diderita oleh kelompok sasaran atau target kerusuhan. Namun, masalahnya: masyarakat itu terdiri dari berbagai macam kelompok tetapi hanya kelompok tertentu yang menjadi sasaran. Pertanyaannya kemudian: mengapa?
Untuk menjawabnya, mari kita tengok konstelasi demografis dan
bagaimana orang Bali perantauan dalam komposisi demografis di kedua
daerah di mana kerusuhan ini meletus.
Menurut Sensus Penduduk tahun 2000 (SP 2000), satu-satunya sensus
yang menyajikan data etnik, komunitas Bali perantauan di Lampung
jumlahnya sangat kecil. Dalam sensus terbuka, di mana setiap orang
mengidentifikasikan etniknya, mereka yang mengaku etnik Bali berjumlah
hanya 79.612 orang (atau 0,1 persen) dari 6,646,490 jiwa penduduk
Provinsi Lampung.
Saya kira, sepuluh tahun kemudian, jumlah ini tidak berubah.
Sekalipun jumlah penduduk bertambah banyak, komposisinya biasanya
relatif ajek. Penduduk terbesar lampung adalah etnik Jawa (61 persen
dari total penduduk) dan kedua adalah Sunda (8,7 persen). Sementara
penduduk ‘asli’ yakni orang Paminggir dan Pepadun berjumlah
masing-masing 6,4 persen dan 4,2 persen dari seluruh populasi.
Di Kabupaten Lampung Selatan, konstelasinya tidak jauh berbeda.
Menurut SP 2000, jumlah etnik Bali di sana hanya 11.937 jiwa (0,1
persen) dari jumlah total penduduk kabupaten yang 1.132.995 orang itu.
Penduduk terbesar di kabupaten itu adalah orang Jawa (59,2 persen),
disusul Sunda (13 persen), dan ketiga adalah etnik Peminggir, penduduk
asli yang berjumlah 10,3 persen dari total penduduk.
Bagaimana keadaan di Kabupaten Sumbawa? Konstelasinya tidak jauh
berbeda. Menurut SP 2000, jumlah etnik Bali disana hanya berjumlah
11.971 orang (2,7 persen) dari seluruh penduduk kabupaten yang saat itu
berjumlah 444.116 jiwa. Penduduk terbesar di kabupaten itu adalah etnik
Semawa yang jumlahnya 67 persen dari total penduduk, kedua adalah orang
Sasak (13,8 persen), disusul orang Bugis (3,2 persen), dan orang Jawa
(3,0 persen).
Setiap kekerasan komunal selalu mengemukakan isu ‘putera daerah (sons
of soil) melawan pendatang.’ Namun, dalam banyak hal sulit untuk
menentukan siapa putera daerah dan siapa pendatang. Banyak orang
dikategorikan pendatang sesungguhnya lahir di dearah itu, tidak bisa
berbicara bahasa etnik aslinya, dan mungkin mengikuti kebudayaan
setempat. Namun, mereka tetap berada dalam kategori pendatang.
Di Lampung Selatan dan di Sumbawa, isu pendatang itu juga mengemuka.
Namun lagi-lagi persoalannya adalah: mengapa hanya pendatang tertentu?
Mengapa bukan pendatang yang lain? Mengapa pendatang Bali dan bukan
Jawa, Sunda, Bugis atau yang lain? Mengapa kerusuhan di Kalimantan Barat
dan Kalimantan Tengah antara tahun 1997-2001 yang menjadi sasaran
adalah orang Madura? Mengapa orang etnik Tionghoa banyak menjadi sasaran
kerusuhan dan kekerasan selama masa Orde Baru dan tidak lagi setelah
masa reformasi?
Lagi-lagi di sini mekanisme politik bekerja. Sasaran kerusuhan selalu
ditentukan dengan kalkulasi cermat. Umumnya yang menjadi sasaran adalah
etnik minoritas, yang terlebih dahulu sudah memiliki bingkai prasangka
(prejudices). Etnik minoritas ini mungkin memiliki keunggulan ekonomi
dibandingkan rata-rata penduduk. Peranan mereka pada umumnya sebagai
mata rantai terkecil dari pasar jual beli: sebagai pengecer, sebagai
agen transportasi, sebagai pengumpul produksi yang akan dijual kepada
agen, dan sebagainya. Mereka menjadi penghubung terendah dalam struktur
ekonomi. Ini yang menyebabkan mereka berhubungan langsung dengan rakyat
setempat tetapi tidak pernah menjadi bagian daripadanya.
Dari sisi golongan minoritas ekonomi ini juga ada kepentingan untuk
memelihara jaringan pasar hanya di dalam lingkup kelompok etnik mereka
sendiri. Ini karena persoalan kepercayaan (trust) yang pada akhirnya
juga menyangkut akses terhadap kredit dan modal (capital). Orang Bali
yang menjadi pedagang hasil bumi di Lampung, misalnya, berhubungan satu
sama lain dengan orang Bali karena mereka bisa saling meminjamkan duit
dan ada kepercayaan bahwa pinjaman ini akan dikembalikan.
Ini adalah hal yang sangat logis. Di mana-mana ekonomi pasar bekerja
atas dasar kepercayaan (trust). Bank memberikan pinjaman karena percaya
bahwa nasabahnya akan mampu mengembalikan. Hanya saja, jika bank
melakukannya dengan ‘analisis risiko,’ dalam kegiatan ekonomi yang lebih
sederhana ini dilakukan dengan hubungan kekeluargaan dan kelompok
etniknya.
Selain itu, golongan yang menjadi sasaran selalu golongan paling
rentan dalam konteks politik lokal. Etnik Madura digambarkan sebagai
etnik yang agresif, yang mau melakukan apa saja untuk bisa berhasil, dan
gemar akan kekerasan. Banyak orang agresif dan melakukan apa saja serta
gemar akan kekerasan tetapi tidak menjadi sasaran kerusuhan. Karena
apa? Karena mereka bukan sasaran dan tidak pernah didefinisikan sebagai
sasaran.
Di Lampung juga saya dengar ada prasangka-prasangka terhadap orang
Bali perantuan. Orang Bali sukses menguasai jalur transportasi dan
ekonomi hasil bumi. Mereka benar-benar menjadi mata rantai terendah
dalam ekonomi pasar. Akibatnya, mereka pun bersentuhan dengan rakyat
biasa yang menghasilkan produksi bahan mentah dan tergantung pada jasa
mereka untuk mentransportasikannya ke pasar yang lebih besar.
Sementara, di sisi yang lain, orang Bali perantauan di Lampung tidak
memiliki saluran untuk ikut berpartisipasi dalam politik lokal (sama
seperti orang Madura di Kalimantan sebelum kerusuhan). Akses mereka ke
dalam politik bisa jadi ditutup oleh elite lokal atau karena mereka
sendiri tidak berminat.
Ketiadaan akses politik ini mempermudah mereka untuk menjadi sasaran bilamana ada kefrustasian di tingkat bawah.
Dalam hal ini, orang Bali perantauan mengalami nasib persis dengan
etnik Tionghoa pada masa Orde Baru. Etnik Tionghoa kerap menjadi sasaran
kerusuhan sosial. Namun, kerusuhan anti-Tionghoa itu menjadi sangat
jarang pada masa reformasi. Kini kita melihat kalangan etnik Tionghoa
sangat aktif terlibat dalam politik. Ini yang membikin golongan Tionghoa
sulit untuk menjadi sasaran dan kambing hitam dari kesulitan sosial.
Masyarakat menyalahkan semua politisi, partai politik, atau bahkan
negara atas kesulitan ekonomi atau keresahan sosial.
Kini kita lebih sering mendengar ‘negara atau pemerintah yang gagal’ ketimbang lemparan kesalahan pada etnik Tionghoa.
Dalam kerusuhan di Sumbawa tahun 1980, ada analisis bahwa kerusuhan
akibat kecemburuan sosial dari etnik Semawa karena orang Bali menduduki
jabatan-jabatan penting di birokrasi pemerintahan dan BUMN. Orang-orang
Bali ini di-drop dari pemerintah pusat. Menurut saya, analisis macam ini
tidak tepat. Karena mungkin banyak juga orang-orang dari suku lain
menjadi dominan dalam pemerintahan tetapi tidak ada masalah. Misalnya,
mengapa jika jabatan itu dipegang oleh orang Jawa, tidak akan pernah ada
masalah?
Analisis kecemburuan sama sekali mengabaikan faktor-faktor politik
yang kuat bekerja dalam setiap kerusuhan. Seperti saya sebutkan di atas,
target atau sasaran kerusuhan dirumuskan dengan kalkulasi cermat.
Umumnya ditujukan kepada etnik minoritas yang tidak memiliki
perlindungan politik.
Akibatnya, dalam banyak kasus kita melihat bahwa korban kerusuhan
masih selalu menanggung beban paling berat. Mereka tidak pernah
mendapatkan keadilan atas jiwa yang hilang, tidak ada ganti rugi apapun
atas barang milik mereka yang rusak atau dibakar, mereka harus
menandatangani ‘perdamaian’ di mana mereka seringkali tidak
diikutsertakan dalam perumusannya. Sistem hukum tidak mampu menjangkau
para perusuh, yang menjarah, merusak, membakar, dan bahkan membunuh
karena orang-orang ini terlindungi secara politik.
Sisi politik ini juga membikin kita paham mengapa aparat keamanan
yang bersenjata lengkap sering kali berdiam diri dan membiarkan
terjadinya kerusuhan. Aparat keamanan tidak kebal dari situasi sosial
dan politik sekelilingnya. Polisi atau tentara tahu persis bahwa mereka
berhadapan dengan sebuah kekuatan politik.
Partisipasi
Saya sudah menunjukkan bahwa kerusuhan sosial dan kekerasan komunal terjadi karena faktor politik. Dalam banyak hal elite-elite politik lokal baik yang berkuasa dan memerintah atau yang sedang mencari kekuasaan dan di luar pemerintahan turut terlibat. Pada akhirnya, kerusuhan dan kekerasan komunal hanya akan mengabdi kepentingan dari elite politik.
Saya sudah menunjukkan bahwa kerusuhan sosial dan kekerasan komunal terjadi karena faktor politik. Dalam banyak hal elite-elite politik lokal baik yang berkuasa dan memerintah atau yang sedang mencari kekuasaan dan di luar pemerintahan turut terlibat. Pada akhirnya, kerusuhan dan kekerasan komunal hanya akan mengabdi kepentingan dari elite politik.
Ini terlihat tidak saja dalam berbagai kerusuhan dan kekerasan
komunal di banyak negara tetapi juga di Indonesia. Mereka yang mampu
menggerakkan massa-rakyat dengan segera menjadi ‘tokoh masyarakat’ yang
ditakuti. Sistem politik demokrasi elektoral, seperti di India dan
Indonesia, mengakui tokoh-tokoh masyarakat ini karena sangat berperanan
dalam memobilisasi suara. Tapi dalam iklim otoriter pun sesungguhnya
‘tokoh masyarakat’ ini diperlukan. Para diktator dan penguasa-penguasa
otoriter membutuhkan mereka untuk mengontrol massa-rakyat.
Kemudian muncul persoalan lain: Jika kerusuhan sosial atau kekerasan
komunal menguntungkan para elite politik suatu kelompok komunal
tertentu, mengapa massa-rakyat mau mengikuti mereka? Mengapa
massa-rakyat kadang mau mengorbankan diri untuk ‘kepentingan
kelompok’-nya padahal itu mungkin tidak menguntungkan dia?
Di sini para elit juga berperan untuk membingkai (framing) keberadaan
massa-rakyat sebagai kelompok etnik. Ada beberapa cara yang mereka
lakukan. Pertama adalah dengan memompa kebanggaan sebagai kelompok
(pride factor). Kebanggaan sebagai sebuah kelompok etnik. Mungkin juga
dilengkapi dengan kisah sejarah jaman keemaasan, kebanggaan terhadap
bahasa dan sastra, kebanggaan terhadap warisan budaya, dan sebagainya.
Setelah reformasi Indonesia, kebanggaan ini semakin mencolok karena
kebangkitan kaum aristokrasi. Raja-raja dinobatkan, gelar-gelar kembali
dipasang, upacara kerajaan dihidupkan kembali, dewan-dewan adat
dibentuk. Bahkan, seperti di Bali, tiba-tiba ada Raja muncul sekalipun
dia tidak memiliki rakyat dan wilayah. Hingga di sini, pemompaan
kebanggaan kelompok sebenarnya adalah sesuatu yang normal dan sah-sah
saja.
Cara kedua adalah dengan menyebarkan ketakutan dan melakukan
demonisasi (penggambaran sebagai pihak yang jahat) kelompok etnik
sasaran. Penyebaran ketakutan ini biasanya berlangsung secara sistematis
seperti penyebaran isu-isu menyesatkan. Penyebaran ketakutan bertujuan
untuk memperkuat kelompok ke dalam. Solidaritas di dalam kelompok pun
terbangun dan siap dipergunakan untuk kekerasan.
Biasanya ketakutan ini dibarengi dengan pembentukan milisi-milisi,
laskar-laskar, dan pasukan-pasukan yang akan membela kelompok etnis
tersebut. Milisi atau laskar-laskar ini kadang tidak terbentuk dengan
segera. Ia bisa dibentuk pada saat kerusuhan sebagai bagian mobilisasi
ke dalam kelompok etnik.
Hal ketiga yang biasanya menjadi puncak dari meledaknya kekerasan
komunal adalah penciptaan kondisi psikologis bahwa kelompok penyerang
adalah korban (victimizing factor). Saya melihat ini sebagai faktor
penting yang memungkinkan orang bertindak melebihi batas-batas
kemanusiaan. Kondisi psikologis bahwa ‘kita adalah korban, kita selalu
direndahkan, kita diremehkan, dan sebagainya’ membuat semua tindak
kekerasan mendapatkan pembenaran (justification).
Perpaduan antara ketakutan bahwa kelompok lain akan menyerang dan
perasaan sebagai korban akan menciptakan kekejaman yang luar biasa.
Peristiwa tahun 1965 di Indonesia atau pembantaian etnik Tutsi oleh
etnik Hutu di Rwanda pada tahun 1994 menunjukkan bekerjanya dua faktor
ini. Juga kekerasan di Kalimantan tahun 1997-2001 di mana orang
menunjukkan memakan organ tubuh lawannya, lahir dari pengkondisian
secara psikologis bahwa mereka adalah korban dan tindakan brutal itu
bisa dijustifikasi. Faktor-faktor ini tampaknya juga terlihat dalam
kerusuhan di Lampung Selatan dan di Sumbawa.
Epilog
Tidak banyak disadari bahwa pada akhirnya, kerusuhan sosial atau kekerasan komunal justru menciptakan ikatan ke dalam (kohesi internal) yang jauh lebih kuat pada satu kelompok etnis dibandingkan dengan sebelum kerusuhan. Inilah bagian yang paling disukai oleh para elite politik dari sebuah kelompok etnis. Ikatan ke dalam yang lebih kuat berarti memberikan kekuasaan lebih besar kepada elite tersebut untuk melakukan kontrol ke dalam kelompok etniknya.
Tidak banyak disadari bahwa pada akhirnya, kerusuhan sosial atau kekerasan komunal justru menciptakan ikatan ke dalam (kohesi internal) yang jauh lebih kuat pada satu kelompok etnis dibandingkan dengan sebelum kerusuhan. Inilah bagian yang paling disukai oleh para elite politik dari sebuah kelompok etnis. Ikatan ke dalam yang lebih kuat berarti memberikan kekuasaan lebih besar kepada elite tersebut untuk melakukan kontrol ke dalam kelompok etniknya.
Pada akhirnya ini akan memberikan bargaining power dan akses untuk
kekuasaan lebih besar. Dengan kata lain, dalam banyak kasus, kekerasan
komunal memberikan insentif kepada para politisi untuk mengulanginya. Di
India, seperti kata Paul Brass seorang pengamat kekerasan komunal
terkemuka, kekerasan ini dilakukan berulang-kali setiap menjelang
Pemilu. Brass pun menyebut hal ini sebagai ‘institutionalized riots
system’ (sistem kerusuhan yang terlembaga). Dalam sistem ini ada
orang-orang yang menjadi ‘riots specialists’ (ahli membikin kerusuhan)
yang dipekerjakan oleh para politisi.
Di atas telah kita lihat bahwa kerusuhan sosial atau kekerasan
komunal diciptakan. Kita juga telah melihat peranan elite, peranan
massa-rakyat dan bagaimana kekerasan sosial berfungsi untuk menciptakan
kohesi internal. Asumsi saya adalah kerusuhan sosial tidak pernah
dilakukan secara spontan. Kekerasan dilakukan dengan kalkulasi matang,
mengukur kekuatan, menentukan target, dan menentukan kapan saat untuk
meledakkannya.
Orang Bali perantauan menjadi sasaran bukan karena perasaan cemburu
penduduk lokal, atau karena mereka memiliki pengaruh di dalam
pemerintahan (hal yang kontradiktif – kalau mereka berpengaruh, tentu
mereka punya kekuasaan untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap
komunitas mereka, bukan?). Sentimen anti-Bali di perantauan terjadi
karena mereka merupakan sasaran paling lemah, tidak memiliki
perlindungan dalam konstelasi politik lokal setempat.
Terakhir, saya tergoda untuk berefleksi. Adakah kemungkinan kerusuhan
sosial atau kekerasan komunal terjadi di Pulau Bali sendiri, di mana
orang Bali melakukan kekerasan terhadap kelompok etnik yang
dikategorikan sebagai ‘pendatang yang merusak’? Kalau melihat dinamika
politik Bali, dan melihat semua persyaratan terjadinya kekerasan
komunal, maka kita bisa menyimpulkan bahwa semua bumbu-bumbu terjadinya
kerusuhan sosial itu ada di Bali.
Tentu saja, Bali juga penuh dengan para politisi, baik sedang
berkuasa atau sedang mencari kekuasaan, yang siap mengeksploitasi semua
kondisi masyarakat.
Tetapi, saya kira taruhan (stakes) di Bali untuk meledakkan kerusuhan
sosial sangat tinggi. Ekonomi Bali sangat tergantung pada pariwisata
yang sangat peka pada gejolak sosial. Itu mungkin bisa menjadi penahan
tidak terjadinya kekerasan komunal di Bali. Yang banyak terjadi adalah
keroyokan pada level-level komunitas kecil-kecil. Kekerasan sosial yang
menyeluruh dengan target etnik tertentu, mungkin bisa dibendung.
Namun, kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Sebagai orang Bali perantauan saya hanya bisa berujar, “Jajik ping !!!!” [b]
Sumber : Balebengong.net
Tiang hanya bisa memanjatkan doa agar semeton HINDU Bali dimanapun selalu sehat dan mendapatkan waranugraha saking IDA SANG HYANG WIDHI WASA, selalu dilimpahkan rezekinya, selalu diberikan kesehatan. Tetap menjaga hati & kesabaran dalam menjalankan Dharma (kebaikan).
BalasHapusKarma dan kerja sudah ada yang menilai, jalan Dharma adalah jalan terakhir umat di dunia untuk menuju keabadian, percayalah bahwa kebaikan akan selalu mendapatkan kebahagiaan yang kekal dan abadi.
Dumogi Nyame Bali dimana pun berada akan slalu dalam lindungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa Bli...
HapusSungguh prihatin atas musibah yang menimpa saudara kita dirantaun, moga Hyang Widhi senantiasa melindungi mereka...
BalasHapusHanya bisa berdoa yg terbaik untuk nyame Bali yg ada di perantuan...
Hapusbukankah hidup kita ini hanya indah jika ada perdamaian.Semoga sahabat-sahabat yang mengalami senantiasa diberi keselamaatan dan ketabahan dalam menghadapinya.Ketepikan perbedaan,satukan tekat bersatu untuk maju,peace in love
BalasHapusSemoga semua bisa saling menghormati dan hidup dalam keselarasan ...
Hapuskita do'akan saja saudara kita biar selalu dalam lindungannya. AMIN...... :(
BalasHapusIya Om, Amin...
Hapus